Follow kami di google berita

Pergantian Antar Waktu Ketua DPRD Kaltim Di Anggap Cacat Hukum, Tokoh Masyarakat Minta Gubernur Bijak Mengambil  Keputusan

A-news.id, Samarinda – Kasus persoalan pergantian ketua DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Mas’ud hingga kini masih terus berpolemik.

Bahkan dari informasi yang dihimpun, gugatan atas hal tersebut masih berjalan di pengadilan negeri Samarinda. Bahkan beberapa kalangan menganggap paripurna yang dilakukan oleh DPRD Kaltim beberapa waktu lalu adalah hal yang salah, lantaran telah memutuskan sesuatu.

Hal ini pun mendapatkan kritisi dari Aliansi Pimpinan Ormas Daerah (Aorda). Ketua umum Aorda, Mohammad Djailani menyampaikan bahwa rapat paripurna yang digelar pada hari Selasa (2/11/2021) lalu adalah cacat hukum.
Pasalnya, dirinya menyebutkan cacat hukum itu karena perihal rapat paripurna yang memutuskan pergantian Makmur HAPK ke Hasanuddin Mas’ud.

“Itu gugatan saat ini masih dalam proses gugatan di pengadilan negeri Samarinda. Bahkan nomor gugatannya pun sudah ada,” ungkap Djalani sapaan akrabnya. Kamis (4/11/2021).

“Gugatan itu juga belum ada keputusan berkekuatan hukum tetap, tapi dewan ni sudah memutuskan untuk pergantian,” sambungnya.

Atas dasar itu, Djailani menyampaikan agar pimpinan daerah dalam hal ini yakni Gubernur Kaltim harus bijak dalam mengambil keputusan. Pasalnya, usulan pergantian ketua DPRD Kaltim nantinya akan diserahkan kepada Gubernur Kaltim dan diteruskan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Jadi, kami minta kepada Gubernur Kaltim, dan juga Mendagri untuk tak memproses dan menindaklanjuti pengusulan pergantian ketua DPRD Kaltim sampai adanya putusan hukum berkekuatan hukum (Inkra),” jelasnya.

Djailani juga menegaskan hingga saat ini Makmur HAPK masih menjadi Ketua DPRD Kaltim yang sah. Dengan itu pula melekat seluruh kewajiban dan hak-hak kepada Makmur HAPK.
Ia sampaikan, hal ini perlu dilakukan agar memberikan pelajaran politik dan hukum yang baik kepada masyarakat.
“Agar, sebuah lembaga bisa melakukan proses sesuai dengan aturan yang ada. DPRD sebaiknya memberikan contoh yang baik bagaimana memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum,” imbuhnya.

Sementara itu, Akademisi Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menganggap bahwa keputusan paripurna untuk melanjutkan proses pergantian ketua DPRD itu, pertanda politik lebih dominan dibanding hukum.

“Mereka itu kan disumpah untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin mereka melepeh sumpah itu dengan mendahulukan nafsu politik dibanding aturan hukum?,” ujar Castro, Rabu (3/11/2021).

“Ini jelas kemunduran cara berpikir anggota DPRD yang tidak layak ditonton publik. Logikanya begini, sifat putusan mahkamah partai itu kan tidak final dan mengikat, jadi tidak bisa diproses sebelum berkekuatan hukum tetap melalui putusan pengadilan. Satu-satunya putusan partai yang final dan mengikat adalah soal kepengurusan sebagaimana disebut di Pasal 32 ayat (5) UU 2/2011. Jadi selama masih ada upaya hukum yang dilalukan oleh pihak yang keberatan dengan putusan mahkamah partai, maka putusan itu belum bisa dieksekusi,” sambungnya.

Pria yang kerap disapa Castro menjelaskan contoh kongkritnya kasus Fahri Hamzah yang dipecat PKS di DPR-RI, atau kasus Viani Limardi yang dipecat PSI di DPRD DKI.
Usulan pergantiannya tidak bisa langsung dieksekusi, sebelum upaya hukum di pengadilan clear.

“Jadi seharusnya DPRD secara kelembagaan taat terhadap hukum, bukan tunduk terhadap kepentingan golongan. Yang lebih aneh lagi, ada anggota DPRD yang goyah iman-nya hanya karena desakan kelompok tertentu. Itu kan konyol namanya,” pungkasnya. (Ris)

Bagikan

Subscribe to Our Channel