Follow kami di google berita

Analisis: SEMUA ANGGARAN PEMULIHAN EKONOMI MUSTAHIL TERSERAP DALAM 3 BULAN

Pemerintah berupaya menyerap seluruh anggaran penanganan dampak corona dan pemulihan ekonomi nasional. Namun, hal itu sulit dilakukan tanpa perubahan kebijakan. Ilustrasi.

ANEWS, Berau – Sebesar Rp695,2 triliun, dana yang dipersiapkan pemerintah untuk penanganan dampak covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana jumbo itu merupakan ‘senjata’ andalan pemerintah dalam berperang di berbagai aspek mulai dari kesehatan, perlindungan sosial, hingga stimulus dunia usaha.

Sayangnya, penggunaan senjata utama itu kurang maksimal. Kondisi ini tercermin dari realisasi penggunaan anggaran yang baru mencapai Rp268,3 triliun atau 38,6 persen dari total anggaran per 23 September 2020. Artinya, pemerintah dituntut bisa menyalurkan dana Rp426,9 triliun dalam kurun waktu tiga bulan.

Secara detail, serapan paling besar berasal dari perlindungan sosial senilai Rp136,41 triliun, atau 66,9 persen dari pagu anggaran Rp203,9 triliun. Disusul oleh, dukungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Rp59,81 triliun, atau 48,44 persen dari pagu anggaran Rp123,47 triliun.

Kemudian secara berurutan, insentif usaha Rp27,61 triliun, atau 22,89 persen dari Rp 120,61 triliun, kesehatan Rp20,72 triliun, atau 23,66 persen dari pagu anggaran Rp87,55 triliun, dan sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda) Rp23,75 triliun, atau 22,38 persen dari pagu anggaran Rp106,11 triliun. Sementara itu, pemerintah belum menyalurkan pembiayaan korporasi dari pagu Rp53,60 triliun.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tetap optimis dana jumbo itu bakal terserap 100 persen tahun ini. Salah satu strategi pemerintah guna mendorong penyerapannya adalah melakukan realokasi anggaran pada sektor yang realisasinya tinggi, yakni perlindungan sosial dan dukungan UMKM.

“Akhir tahun outlook (prediksi) akan terserap semua,” kata Airlangga dalam rapat koordinasi pimpinan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) pekan lalu.

Menyalurkan uang senilai Rp426,9 triliun dalam kurun waktu tiga bulan tentunya bukan perkara mudah. Dibutuhkan langkah luar biasa jika pemerintah ingin target yang disampaikan Airlangga bukan hanya ucapan belaka.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan guna mendorong serapan dana PEN dalam tiga bulan ini, maka pemerintah harus melakukan identifikasi akar masalah lambatnya serapan dana itu. Menurutnya, kendala utama yang menyumbat penyaluran dana penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi adalah administrasi antara K/L baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kendala administrasi itu tercermin dari sejumlah anggaran PEN yang belum memiliki daftar isian pelaksana anggaran (DIPA). Bahkan, fakta ini sempat menyulut amarah Presiden Joko Widodo.

Pada pertengahan Agustus lalu, sebanyak Rp151,36 triliun anggaran belum memiliki DIPA. Sedangkan senilai Rp155,96 triliun memang diberikan tanpa DIPA karena dalam bentuk insentif perpajakan.

“Saya kira siklus pemerintah memang tidak seperti menyerap anggaran di sektor keuangan misalnya bank, jadi ada proses administrasi serta pendataan, dan memang mekanismenya tidak mudah,” ujarnya kepada media, Selasa (29/9).

Hambatan lainnya adalah program dalam PEN sendiri dinilai tidak relevan dengan kondisi di tengah pandemi covid-19. Ahmad mencontohkan program insentif usaha yang baru terserap 22,89 persen.

Jika dirinci lagi, program itu terdiri dari sejumlah pelonggaran pajak bagi pelaku usaha. Meliputi PPh pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh 22 impor, pengurangan angsuran PPh 25, pengembalian pendahuluan PPN, penurunan tarif PPh Badan, dan stimulus lainnya.

Di sisi lain, dunia usaha sendiri tengah lesu, sehingga insentif tersebut pun kurang dimanfaatkan.

“Ini yang saya kira tidak, jadi daya serapnya tidak sesuai dengan permintaan yang ada di lapangan,” tuturnya.

Melihat kendala utama tersebut, ia merekomendasikan pemerintah melakukan perubahan sistem administrasi untuk mendorong penyaluran PEN dalam sisa waktu tiga bulan ini. Bahkan, jika dirasa perlu, pemerintah dapat melakukan relaksasi regulasi.

Sebetulnya, Presiden Jokowi sempat menyinggung soal efisiensi regulasi lewat penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) maupun peraturan presiden (perpres) agar penanganan covid-19 lebih maksimal.

Namun, hingga saat ini baru satu perppu yang lahir selama pandemi, yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Beleid itu telah disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 pada 16 Mei 2020.

“Menurut saya harus ada perubahan sistem administrasi, ada beberapa yang katakan sulit maka bisa dilakukan relaksasi regulasi, apakah melalui perubahan regulasi atau dukungan lain,” ucapnya.

Selanjutnya, ia menyarankan pemerintah melakukan realokasi anggaran pada program yang serapannya tinggi dan betul-betul dibutuhkan masyarakat. Rekomendasi ini juga sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dengan menambah dana perlindungan sosial dan dukungan pada UMKM. Alokasi dana perlindungan sosial naik dari dari Rp203,9 triliun menjadi Rp242,01 triliun dan dukungan kepada UMKM naik dari Rp123,46 triliun menjadi Rp128,05 triliun.

Namun, Ahmad menggarisbawahi realokasi itu bukan sekadar kuantitas lebih dari itu, harus menjamin kualitas. Ia mencontohkan bantuan sosial bagi masyarakat kelas ekonomi 20 persen-30 persen terbawah hendaknya ditambah, tidak sama rata dengan kelompok yang lebih mampu. Alasannya, ia meyakini penyaluran kepada kelompok tersebut bisa menggerakkan ekonomi lantaran mereka cenderung menggunakan dana tersebut untuk konsumsi.

“Seharusnya bisa dibantu lebih besar lagi, mengingat situasi sekarang masyarakat banyak kehilangan pendapatan. Bantuan sekarang Rp600 ribu seharusnya bisa ditambah di atas Rp1,5 juta sehingga bisa menambah keyakinan konsumsi masyarakat,” katanya.

Meskipun berbagai upaya dilakukan, Ahmad mengaku pesimis dana PEN bisa direalisasikan penuh pada penghujung tahun. Sebab, kendala-kendala tersebut masih dijumpai hingga saat ini.

“Menurut saya dalam situasi ini, karena perkiraan banyak DIPA yang belum berhasil, soal regulasi yang tidak bisa ditembus, (Realisasi) 50 persen-60 persen sudah bagus, walaupun tidak maksimal. Ini mau tidak mau biar menjadi renungan bagi pemerintah,” ucapnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet sedikit lebih optimis terkait serapan dana pemulihan ekonomi. Namun, sepakat dengan Ahmad, untuk serapan penuh hingga 100 persen dalam waktu tiga bulan saja, dirasa sangat sulit.

“Kalau hitungan sederhana menurut saya maksimal realisasi PEN berada di kisaran 80 persen sampai akhir tahun nanti,” katanya.

Menurutnya, evaluasi PEN untuk mendorong serapannya dalam tiga bulan ini, hendaknya dilihat per sektor. Dengan demikian, masing-masing sektor dapat memiliki solusi yang berbeda.

Dari enam sektor yang mendapatkan alokasi dana, ia paling menyoroti sektor kesehatan. Maklum saja, sebagai sektor yang merupakan pemicu krisis saat ini, serapan masih rendah yakni 23,66 persen.

Akar masalahnya, lanjutnya, ditengarai oleh lambatnya proses pada Kementerian Kesehatan dan BNPB lantaran tidak memiliki satu suara. Ia mengaku sangat menyayangkan kondisi tersebut padahal, sebagai leading sektor dalam pandemi ini seharusnya Kementerian Kesehatan mempunyai strategi tepat dan jelas dalam penggunaan anggaran.

“Ini yang disayangkan, padahal mereka memainkan peran penting bukan saja menurunkan kasus covid-19 tapi juga membantu pemulihan ekonomi, karena ekonomi tidak akan pulih sepenuhnya jika covid-19 terus bertambah,” tuturnya.

Selanjutnya, ia juga memberi catatan pada dukungan UMKM. Meskipun, tercatat sebagai serapan tertinggi kedua, tetapi jika dibandingkan potensinya masih bisa dimaksimalkan. Seperti diketahui, jumlah UMKM di Indonesia kurang lebih mencapai 64 juta unit.

Oleh sebab itu, untuk memaksimalkan serapannya dalam tiga bulan ini, pemerintah perlu membuat diversifikasi skema penyaluran bantuan kepada UMKM. Selama ini, pemerintah masih menyalurkan bantuan kepada UMKM melalui bank. Padahal, kata dia, banyak UMKM utamanya level mikro yang tidak terjangkau oleh bank (unbankable).

“Untuk mengakomodasi sektor mikro ini, selain bank pemerintah, bisa menggandeng koperasi dan kalau untuk menghindari dana UMKM ini tidak tersalurkan tepat sasaran lebih kepada pengawasan khususnya penugasan di daerah,” ucapnya.

Sementara itu, untuk sektor perlindungan sosial ia mendesak pemerintah mengebut pembaharuan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial. Caranya dengan mendorong pemerintah daerah untuk menyetor data terbaru penduduknya.

Kementerian Sosial sendiri sempat mengakui jika DTKS yang digunakan sebagai acuan bantuan sosial belum dimutakhirkan sejak 2017. Kondisi ini diperparah oleh pemerintah daerah yang belum melakukan pemugaran data di masing-masing wilayahnya.

Bukan hanya memudahkan dan meningkatkan penyaluran, Yusuf menilai DTKS ini bisa mengurangi penyalahgunaan dana bantuan sosial dan salah sasaran.

“Tantangan data DTKS melalui pemerintah daerah ini yang perlu terus diperbarui oleh pemerintah daerah, karena ini akan mempengaruhi penyebaran tepat sasaran penyaluran bantuan sosial, khususnya di daerah,” kata Yusuf. (irw/sfr)

Bagikan

Subscribe to Our Channel