Follow kami di google berita

Mati di Lumbung Padi, Siapa yang Salah?

A-News.id — SEPEKAN terakhir publik Bumi Batiwakkal dihebohkan kejadian tewasnya seorang pemuda di Kecamatan Teluk Bayur. Mirisnya, pemuda itu dihabisi oleh ibu dan saudara kandungnya sendiri. Motifnya, masalah uang. Korban yang diketahui seorang pengangguran kerap meminta uang. Bahkan mencuri uang ibunya. Puncaknya ibunya merasa kesal dengan kelakuan anaknya dan menganggap korban beban keluarga.

Dari kasus kematian anak yang dibunuh oleh ibu dan adiknya, siapa yang patut bertanggung jawab. Jika ditarik dari keseharian korban yang hanya pengangguran, pemerintah daerah pun seharusnya turut bertanggung jawab. Dikarenakan korban pengangguran sehingga berkelakuan kurang baik dan orangtuanya sendiri pun malah menjadikan beban keluarga.

Padahal Kabupaten Berau kaya raya dengan hasil buminya. Berdiri perusahaan-perusahaan tambang besar dan PKP2B. Begitu pun perusahaan perkebunan kelapa sawit dari ujung Selatan Bidukbiduk sampai wilayah Kelay dan Segah. Tapi mirisnya, masih ada warga pribumi atau lokal menjadi pengangguran. Karyawan atau tenaga kerja dari mana yang direkrut oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Padahal di Berau ini ada Peraturan Daerah tentang Perlindungan Tenaga Kerja Lokal. Seharunya Perda itu bisa jadi jaminan warga lokal dengan mudah dapat pekerjaan. Apakah di Dinas Tenaga Kerja hanya sebatas laporan saja bahwa kuota pekerja lokal telah tercukupi.

Harusnya kejadian ini tidak terjadi. Apa untungnya keberadaan perusahaan-perusahaan besar di Berau ini? Apa manfaatnya buat masyarakat Berau? Apa fungsinya?

Rasanya koridor lebih nyata dirasakan manfaatnya. Uang cuma berputar di Berau. Yang bekerja warga Berau. Yang menikmati warung-warung di Berau. Yang untung ya masyarakat Berau. Kalau pun ada kerugian, yang rugi juga warga Berau.

Kalau perusahaan besar yang untung di bawa ke negara pemilik tambang. Ruginya tetap warga Berau yang menerima. Perusahaan-perusahaan besar pun menyisakan lubang-lubang raksasa. Mana yang katanya reklamasi.

Kalau boleh jujur, tidak ada namanya reklamasi tambang. Coba ketika kita bepergian keluar daerah melalui jalur udara (pesawat). Lihat, ulah perusahaan besar menyisakan lubang-lubang besar bekas galian tambang. Ribuan hektare lahan. Semua rusak parah. Tidak dapat reklamasi. Berdalih sudah ada memberikan uang jaminan kerusakan lingkungan.

Apakah pemerintah daerah, pemangku kebijakan, tidak malu dengan berita yang tayang di media-media lokal dan beberapa Televisi Nasional sehingga didengar seluruh Indonesia. Di mana kabupaten yang kaya hasil bumi, ternyata ada anak muda dibunuh orangtua dan adik kandungnya hanya karena pengangguran.

Dimana keberhasilan program selama 5 tahun hanya infrastruktur saja, tapi tidak dinikmati oleh masyarakatnya sendiri. Banyak pemuda-pemudi yang produktif, warga lokal malah menganggur. Ada yang kerja serabutan. Jadi budak di kampung sendiri. Sementara orang luar daerah menikmati sepuas-puasnya kekayaan Berau.

Persoalan tenaga kerja juga sempat dirasakan warga lokal lainnya. Seperti video yang sempat beredar memperlihatkan aksi protes yang dilakukan oleh salah satu oknum yang diduga merupakan anggota dari salah satu ormas terhadap PT Prima Sarana Gemilang (PSG). Protes ini terkait perekrutan tenaga kerja yang dilakukan perusahaan.

“Harus pribumi. Karena selama ini pendatang saja,” ungkap seorang pria dalam video tersebut.

Kejadian-kejadian itu harusnya jadi pelajaran. Pemerintah harus hadir, memastikan tidak ada warga di usia produktif masih menganggur. Desak perusahaan-perusahaan besar untuk berdayakan masyarakat Berau yang masih produktif. Kalau tidak, angkat kaki. Cari investor lain yang mau komitmen memberdayakan tenaga kerja lokal. Sehingga tidak ada pengangguran yang jadi beban keluarga. Tidak ada istilah budak di kampung sendiri. Atau ibarat ayam mati di lumbung padi. (*)

Bagikan

Subscribe to Our Channel