Follow kami di google berita

Kayuh Sepeda Menuju Nepal, Ekspedisi Garis Langit: “Berau antara Pariwisata dan Eksploitasi”

Anews, Berau – Menjadi penggiat alam adalah salah satu kegiatan yang kini tengah tren di kalangan anak muda, meski begitu, hanya segelintir pemuda yang mampu memahami bagaimana caranya menjaga serta melestarikan alam yang ada di sekitarnya.

Berbagai upaya pun kian dilakukan, mulai dari edukasi secara langsung ke masyarakat, melalui media sosial dan media massa, melakukan rangkaian aksi peduli lingkungan sampai dengan mengkampanyekan terkait dengan isu konservasi.

Seperti halnya yang dilakukan oleh tim Nusalayaran dengan ekspedisi garis langitnya, mencoba untuk melakukan ruang diskusi dengan para penggiat alam maupun masyarakat serta riset dan edukasi. Namun cara yang dilakukan cukup ekstrem yakni bersepeda dari Bandung menuju Nepal.

Tim ekpedisi tersebut terdiri dari Kidung Saujana, Lana, Coki, Badut dan Idhoy. Kelimanya sudah mengayuh sepeda sejak 25 Februari 2021 dari Bandung dengan estimasi perjalanan selama 1,5 tahun.

Kelima ekspetitor tersebut pun kini sudah sampai ke tanah Kalimantan dan singgah ke Bumi Batiwakkal pada 15 Juni 2021 lalu.

“Perjalanan dibuat dalam 5 etape (jarak antara dua tempat). Etape pertama Jawa Dwipa, kedua Borneo, ketiga Laut Cina Selatan, keempat Asia Tenggara dan etape terakhir adalah Garis Langit atau Nepal,” ujar Kidung saat di Berau.

“Kita di setiap kota Besar buat agenda diskusi soal lingkungan sekaligus membangun jaringan, minimal di satu kota itu seminggu kaya kemarin sempat kita buat ruang diskusi yang sudah itu sebelum sampai sini (Berau) tuh Jogja, Solo, Karanganyar, Malang, Pasuruan, Balikpapan dan Samarinda,” jelasnya.

“Yang kami bawa adalah penyadartahuan tentang etika kawasan terhadap kawan-kawan penggiat alam khususnya. Terlebih di jaman sekarang dimana lingkungan hidup atau alam ini menghadapi tantangan yang sangat besar, mulai dari eksploitasi ekstraksi dan juga eksploitasi pariwisata,” bebernya.

Untuk sampai ke Nepal pun dikatakan Kidung tidak mudah, ia bersama rekannya yang lain harus melewati delapan negara Asia yang lain meliputi Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar, Bangladesh dan terakhir India.

Saat ditanya alasan kenapa memilih Nepal sebagai target ekspedisi, pria gondrong ini mengakui, kalau Negara berbendera segitiga itu merupakan sebuah titik balik di sela-sela menyampaikan kampanye persoalan etika lingkungan yang dibawa.

“Kampanye ini membutuhkan daya ledak biar orang-orang bisa melihat kampanye ini, kami jadikan Nepal sebagai salah satu daya ledak itu, dengan bersepeda ke Nepal itu kami anggap bisa membuat banyak ketertarikan terhadap isu yang kami bawa,” jelas Kidung.

“Tujuan intinya justru dari proses perjalanan dari Bandung-Nepal, di Nepal itu paling nanti kami naik ke Everest Base Camp (EBC) disana ya udah mau ngapain gitu, yang penting itu titik akhir untuk kita pulang,” tambahnya.

Namun saat menjelajahi Berau, para pemuda asal kota kembang ini merasa cukup miris dengan apa yang mereka lihat. Tak hanya Berau, hal tersebut mereka rasakan sepanjang menelusuri tanah Borneo.

“Kalau melihat apa yang terjadi di Berau justru sangat miris sih dengan landscape yang bagus, keanekaragaman hayati yang dari kasat mata saja bisa kita lihat dan ternyata di sekelilingnya banyak kerusakan yang terjadi,” ungkapnya.

“Apalagi juga di kawasan Berau juga ada salah satu kawasan esensial yaitu karst, itu juga sangat disayangkan sih,” imbuhnya.

Melihat fakta itu, timbul tanda tanya besar di kepala tim ekspedisi garis langit, mereka mempertanyakan seperti apa campur tangan instansi yang berwenang dalam upaya pelestarian hutan dengan menaikkan status menjadi kawasan konservasi. Sebab dinilai jika masih masuk ke dalam kawasan lindung atau produksi sewaktu-waktu dapat dieksploitasi.

“Apakah ini menjadi cadangan untuk investasi tambang segala macam?, terlebih fakta yang kami peroleh di Biduk Biduk sebelas perusahaan semen itu masuk mendapat konsesi (pemberian hak, izin),” ujar Kidung.

“Sejauh ini (Pariwisata Berau) bisa menjadi salah satu aset yang paling penting bagi Kabupaten Berau ketimbang diberikan pemanfaatan eksploitasi dan ekstraksi tadi seperti pertambangan, semen dan sebagainya,” tambahnya.

“Ketika kami bicara dengan masyarakatnya ya rata-rata mereka menolak industrial atau pertambangan disana (pesisir),” imbuhnya.

Lanjut Kidung, ia mengkritik peran pemerintah daerah yang sebenarnya mampu untuk membuat sebuah regulasi, mengingat di dalam tubuh pemda banyak bagian-bagian penting yang sesuai tupoksinya bisa ikut andil dalam mengawasi kegiatan perusahaan yang merusak alam.

“Sebetulnya pemerintah dalam hal ini punya segalanya, punya alat, punya kekuatan hukum dan dengan semua alat dan kekuatan hukum yang mereka punya dan negara punya itu bisa membuat sebuah peradaban yang baik dalam konteks kebijaksanaan terhadap alam tadi,” kata Kidung.

Ia melontarkan kritik terhadap pemerintah bukan karena sebab. Akan tetapi kata dia, sangat disayangkan kalau perekonomian Berau bisa maju dari sektor pariwisata sebaliknya alam di sekililingnya rusak karena kegiatan indsutri perusahaan tadi.

“Justru (pemasukan) itu tidak akan menjadi apa-apa, justru pendapatan yang tadi didapatkan, malah akan keluar kembali menangani biaya-biaya bencana tadi dan itu justru bisa jadi lebih mahal,” pungkasnya.(mik)

Bagikan

Subscribe to Our Channel