Follow kami di google berita

Kemnaker RI Gelar Diskusi Hubungan Industrial

A-News.id,Tanjung Redeb — Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenker RI) menggelar Diskusi Permasalahan Hubungan Industrial di Kabupaten Berau, Kamis (21/7/2022) .

Kegiatan tersebut dibuka secara langsung oleh Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Berau, Masrani.

Dalam pelaksanaan diskusi tersebut, menghadirkan dua narasumber. Yakni, Koordinator PPHI Perusahaan Swasta, Dr Reytman Aruan dan Koordinator PPHI BUMN/BUMD, Feryando Agung Santoso.

Koordinator PPHI BUMN/BUMD, Feryando Agung Santoso mengatakan, saat ini Undang-Undang Ketenagakerjaan ada mengalami perubahan pada beberapa poinnya.

Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) telah mengubah puluhan UU, salah satunya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada beberapa perubahan signifikan dalam norma ketenagakerjaan, diantaranya aturan PKWT, alih daya, penggunaan TKA, mekanisme PHK, hingga sanksi administratif dan pidana.

Salah satu yang diubah dalam UU Ketenagakerjaan, yakni mengatur lembaga pelatihan kerja swasta wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

UU Cipta Kerja tak banyak mengubah ketentuan ini, hanya menambah kewajiban untuk memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan pemerintah pusat jika terdapat penyertaan modal asing.

UU Ketenagakerjaan melarang masa percobaan dalam mekanisme PKWT. Hal tersebut juga diatur dalam UU Cipta Kerja dan ditegaskan selain masa percobaan itu batal demi hukum, masa kerja tersebut tetap dihitung. Hal baru yang diatur UU Cipta Kerja yakni adanya kompensasi bagi buruh pada saat berakhirnya PKWT atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Dia menyebut UU Cipta Kerja menghapus sejumlah pasal alih daya yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan yakni soal pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja. UU Cipta Kerja mengatur lebih tegas soal tanggung jawab perusahaan alih daya terhadap perlindungan pekerja baik upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul. Ketentuan alih daya dalam UU Cipta Kerja mengadopsi putusan MK yang intinya pengalihan perlindungan hak pekerja jika terjadi pergantian perusahaan alih daya dan selama objek pekerjaannya tetap ada.

Menurutnya, perubahan yang paling signifikan dalam UU Cipta Kerja yakni jam kerja lembur yang tadinya dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. UU Cipta Kerja tidak mengatur soal waktu istirahat panjang dan diserahkan pengaturannya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

UU Cipta Kerja masih mengatur upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota, tapi menghapus upah minimum sektoral. UU Cipta Kerja juga mengatur upah minimum untuk usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja. Soal struktur dan skala upah, UU Cipta Kerja mengatur pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Sebelumnya UU Ketenagakerjaan mengatur pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Saat ini, kata dia, bukan lagi waktunya pengusaha dan pekerja untuk terus berbeda pandangan. Melainkan, harus menyiapkan diri untuk bersinergi menghadapi perubahan.

Dikatakannya, perubahan adalah hal yang pasti. Sehingga, sinergitas antara pengusaha dan pekerja harus terlaksanakan. Jika tidak, kata dia, maka akan terjadi gesekan antara pekerja dengan perusahaan.

“Saat ini antara pengusaha dengan pekerja masih menggunakan mashab lama. Sehingga kerap terjadi gesekan atau benturan antara kedua belah pihaknya,” katanya.

Lanjutnya, hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja itu pasti memiliki perbedaan posisi. Dengan kata lain, tidak bisa sejajar.

“Dalam Undang-Undang sudah tegas bahwa pasti ada ketidaksejajaran,” ungkapnya.

Lanjutnya, berbicara tentang hubungan kerja, erat kaitannya dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK, kata dia, tidak bisa dihindarkan. Karena, itu ada dalam aturan perundang-undangan.

“Tentu ada rentetan aturan yang harus dilakukan oleh pengusaha ketika mengambil langkah ingin melakukan PHK,” terangnya.

Menurut Feryando, terkait dengan anjuran dari mediator disnakertrans yang dapat membatalkan anjuran adalah pengadilan bukan instansi yang lain. Dalam hal ini Pemerintah hanya dapat menyatakan bahwa anjuran tersebut bertentangan dengan Undang-undang. Sehingga dalam mekanisme penyelesaian hubungan industrial jelas diatur dalam Uu 2 tahun 2004. Dari bipartit-mediasi-PHI.

“Seluruh perusahaan harus memiliki SoP yang standard sesuai dengan UUcK tentang alur prosedur pemutusan hubungan kerja. Yaitu salah satunya pemutusan hubungan kerja terlebih dahulu baru bipartit,” ucapnya.

Sementara itu, Koordinator PPHI Perusahaan Swasta, Reytman Aruan mengatakan, cara-cara yang tertuang di dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yakni ada jalur yang harus dilalui. Mekanismenya adalah, perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan terakhir pengadilan hubungan industrial.

Ia menambahkan, perselisihan hubungan industrial yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja atau buruh. Dan banyak terjadi perselihan akibat PHK.

“Perselihan itu muncul karena, tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak sesuai dengan pasal 1 angka 4 UU 2/2004,” jelasnya.

Reytman Aruan menambahkan, aturan Ketenagakerjaan menegaskan penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Namun dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial.

“Prosedur yang disediakan antara lain melalui mediasi hubungan industrial atau konsiliasi hubungan industrial atau arbitrase hubungan industrial. Bila masih juga gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang ada pada setiap Pengadilan Negeri kabupaten atau kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi, yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja pekerja,” pungkasnya. (Poh)

Bagikan

Subscribe to Our Channel