A-news.id, Tenggarong – Pilkada di Kutai Kartanegara (Kukar) mungkin menjadi kontestasi yang paling memusingkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pro kontra terkait pencalonan Edi Damansyah sebagai calon petahana memunculkan pro-kontra di tengah masyarakat dan unsur akademisi.
Kontroversi ini sebenarnya sudah lama mencuat menyusul keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masa jabatan Edi Damansyah sebagai bupati definitif di Kabupaten Kukar. Namun konstelasinya belakangan kian memanas menyusul keputusan KPU Kukar yang menyatakan Edi Damansyah dan pasangannya Rendi Solihin lolos syarat administrasi pencalonan.
Pernyataan KPU Kukar ini pun memantik reaksi dari sejumlah kelompok masyarakat di Kukar. Beberapa organisasi masyarakat dan kedaerahan merespons hasil tersebut dengan menggelar aksi di depan kantor KPU Kukar di Jalan Wolter Mongonsidi, Tenggarong, Selasa (17/9/2024).
Ratusan massa dengan membawa kendaraan bak terbuka dan pengeras suara secara lantang menyampaikan beberapa tuntutan. Intinya mereka menolak pencalonan Edi Damansyah yang dianggap melanggar ketentuan perundang-undangan. Bagi massa yang aksi, Edy Damansyah dianggap sudah dua periode menjabat sebagai bupati.
Ketua Umum Remaoeng Kutai Berjaya (RKB) sekaligus koordinator aksi, Hebby Nurlan Arafat memberikan pernyataan di hadapan komisioner KPU. Dia menuntut KPU Kukar untuk menghormati keputusan MK Nomor: 2/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa salah satu calon sudah menjabat dua periode sebagai Bupati Kukar.
“Jika KPU menghormati keputusan MK, kami minta ada surat pernyataan tertulis. Namun, hingga saat ini tidak ada jawaban apa pun dari pihak KPU,” ujar Hebby.
Hebby menegaskan, jika KPU Kukar tidak memberikan klarifikasi yang jelas, pihaknya akan melibatkan masyarakat adat lebih banyak lagi, bahkan dari lima suku besar di Kukar.
“Kami di sini mewakili masyarakat adat. Jika KPU tidak menghormati keputusan MK, kami akan membawa persoalan ini ke ranah adat,” tegasnya.
Ketua KPU Kukar Rudi Gunawan menyatakan bahwa semua ketentuan terkait pilkada sudah tercantum dalam Peraturan KPU Nomor 8. Menurutnya, pihaknya telah bekerja sesuai dengan mandat terbaru dan tidak melanggar aturan.
“Semua sudah tertera jelas dalam PKPU Nomor 8. Kami bekerja sesuai dengan peraturan yang ada. PKPU ini menjadi dasar kami untuk melaksanakan Pilkada serentak,” tegas Rudi.
PKPU Nomor 8 mencantumkan ketentuan mengenai masa jabatan kepala daerah dalam Pasal 19. Ketentuan tersebut menyebutkan syarat mengenai masa jabatan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota yang telah menjabat selama dua kali masa jabatan penuh atau dua setengah tahun.
Rudi menilai bahwa ketentuan dalam PKPU tersebut sudah jelas, termasuk dalam penghitungan masa jabatan kepala daerah yang dihitung sejak pelantikan. Atas dasar ini, KPU Kukar meloloskan persyaratan pencalonan Edi Damansyah sebagai calon bupati.
Edi Damansyah dilantik sebagai bupati definitif pada 14 Februari 2019 oleh Gubernur Kaltim saat itu, Isran Noor. Namun selama 17 bulan sebelumnya, Edy sudah menjabat sebagai Plt Bupati Kukar menyusul kasus hukum yang menyeret bupati Kukar sebelumnya, Rita Widyasari. Jika masa jabatannya sebagai Plt dan bupati definitif digabung, maka Edy memegang jabatan tertinggi di Kukar itu lebih dari 2,5 tahun setengah. Namun jika hanya dihitung dari pelantikannya sejak diangkat sebagai bupati definitif, maka Edy hanya menjabat kurang dari 9 bulan sebelum pelaksanaan pilkada di Kukar.
Pada Pilkada di akhir 2019 lalu, Edy sebagai calon tunggal, memenangkan pilkada Kukar usai mengalahkan kotak kosong. Pada Pilkada 2024 ini, Edy kembali mencalonkan sebagai bupati dan tetap berpasangan dengan Rendi Solohin sebagai calon wakil bupati.
Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 dan terbaru PKPU Nomor 8 tahun 2024 pasal 19 poin c yang berbunyi: masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara. (*)