A-news.id, Tanjung Redeb – PT Madhani Talatah Nusantara (MTN), Site Sambarata diduga telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah karyawannya yang merupakan masyarakat lokal Berau.
Hal tersebut pun memancing sejumlah masyarakat untuk melakukan aksi unjuk rasa di Pos Gabungan PT Berau Coal Site Sambarata. Aksi massa tersebut, menuntut agar pihak perusahaan memprioritaskan pekerja lokal.
Kabid Hubungan Industrial Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Berau, Sony Perianda mengatakan, pihaknya telah menerima surat dari PT Madhani Talatah Nusantara Site Sambarata yang ada di Kampung Tasuk, Kecamatan Gunung Tabur.
“Kami sudah mendapat surat masuk dari pihak perusahaan,” ujarnya.
Dikatakannya, dari informasi surat tersebut menyatakan bahwa 1 PIT yang dikerjakan oleh PT Madhani Talatah Nusantara telah stop operasi.
“Infonya PIT B itu sudah habis,” katanya.
Lebih lanjut, sebagian karyawan sudah dilakukan mutasi ke PIT lain. Yakni, PIT B West. Namun, masih ada karyawan yang tidak bisa tertampung.
“Itu karyawan yang tidak tertampung sebagian adalah pekerja lokal. Dan itu memicu polemik di kalangan pekerja lokal,” bebernya.
Sony menyebut, hal itu pun menjadi persoalan. Di mana, pekerja lokal mempertanyakan alasan perusahaan tidak mengembalikan pekerja kiriman dari luar Berau.
“Kami belum mendapat informasi terkait berapa jumlah berapa banyak karyawan kiriman tersebut,” tandasnya.
Sementara itu, Perwakilan PT Madhani Talatah Nusantara, Bambang saat dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, terkait hal tersebut belum memberikan respons.
Diberitakan sebelumnya, isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran tengah melanda PT Madhani Talatah Nusantara. Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan ini dikabarkan akan mengurangi sekitar 300 karyawannya akibat pengurangan area kerja dan produksi di lokasi operasional. Kebijakan ini menuai protes dari karyawan dan sorotan dari berbagai pihak, termasuk Dewan Adat Kesultanan Gunung Tabur.
Deputi Project Manager PT Madhani, dalam keterangannya, menjelaskan bahwa pengurangan tenaga kerja terjadi akibat turunnya produksi pada 2024-2025. “Secara lokasi atau area kerja kami mengalami penurunan. Efisiensi dilakukan karena pengurangan produksi. Saat ini, kami masih membahas opsi terbaik untuk para pekerja yang terdampak,” ujarnya, Rabu (11/12) di museum Kesultanan Gunung Tabur.
Pihak perusahaan juga menyebutkan bahwa opsi pesangon bagi karyawan yang terdampak telah dipertimbangkan sesuai aturan. “Pesangon akan dibayarkan sesuai aturan, tetapi saat ini kami fokus mencari solusi internal terlebih dahulu,” tambahnya.
Sementara itu, Safruddin, perwakilan karyawan yang terkena PHK, mengaku kecewa dengan keputusan perusahaan yang dinilai sepihak. Ia menyebut pemanggilan karyawan dilakukan secara mendadak dan tanpa penjelasan yang memadai.
“Kami dipanggil lewat pesan WhatsApp yang tidak resmi pada Sabtu, 7 Desember 2024. Setelah dipanggil, kami langsung diberikan surat PHK oleh HR. Kami diberi waktu hingga 15 Desember untuk merespons, jika tidak, kami dianggap menerima keputusan tersebut,” ungkap Safruddin.
Ia juga menyoroti ketidakadilan dalam pemberian pesangon. Ada yang hanya diberi pesangon kali satu, padahal bisa dipertimbangkan untuk memberi kali dua.
“Kami merasa keputusan ini sangat sepihak. Seharusnya, PHK ini melalui proses panjang dan ada pembahasan terlebih dahulu,” ujarnya..
Karyawan meminta agar perusahaan mencari alternatif lain, seperti merotasi pekerja ke area lain atau menunda keputusan PHK.
“Kami berharap status PHK ini dicabut. Ada banyak solusi yang bisa diambil, seperti efisiensi melalui rotasi kerja,” kata Safruddin.(Fery)